Sabtu, Juli 19, 2008

DESKRIPSI MANUSIA MENURUT AL-QUR'AN (Perspektif Psikologi)

Manusia merupakan kajian yang paling menarik. Dengan bahasa yang lebih ekstrim --sebut Alexis Karel Man --, manusia adalah mahluk misteri. Firman Allah S WT. Surat Adz-Dzariyat : 21 "Dan di dalam dirimu apakah engkau tidak mau memperhatikan?"
Ada beberapa hal yang membedakan manusia dengan vertebrata lainnya , pertama dilihat dari sisi kulit, manusia konon paling lembut dagingnya dan paling mudah luka kulitnya. Bulu-bulu tebal seperi beruang kutub, tidak terdapat dalam tubuh manusia, demikian juga kulit sekeras kura-kura atau duri-duri tajam seperti landak. Kedua dari sisi proses perkembangan, manusia untuk mencapai perkembangan yang optimal memerlukan waktu dan proses belajar yang cukup panjang. Bayi manusia tidak begitu saja mampu berdiri dan berjalan, makan sendiri dan berbicara. Tidak serupa bayi kera yang memerlukan waktu relatif singkat untuk dapat mampu berayun-ayun sambil mencari makan sendiri. Ketiga dari sisi proses adaptasi, manusia tidak mengadaptasikan tubuhnya terhadap berbagai perubahan lingkungan, tetapi justru berupaya mengolah lingkungan.
Volume otak manusia yang cukup besar dengan sistem syaraf dan otot yang lengkap, memberikan kemampuan untuk berfikir, bergerak, berputar-putar, berdiri tegak, dan sebagainya. Ini menandakan bahwa proses mental dan fisik manusia jauh lebih tinggi, canggih, dan bervariasi yang semuanya terungkap dalam kemampuan, keterampilan dan berbagai pola prilaku yang hampir tak terbatas jumlah dan ragamnya. Sehingga ia mampu membuat berbagai sarana dan peralatan serta menciptakan peradaban dan mengembangkan sains mengenai berbagai hal. Dalam bahasa lain satu-satunya mahluk yang mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Tuhan dan menjadi pelaku sejarah adalah manusia . Sehingga wajar jika al-Qur'an mengangkat derajat manusia. Firman Allah SWT "Sesunggubnya kami telah rrzenciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna" (at-Tiin : 4).

Di satu sisi manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna mempunyai karakteristik dan perilaku yang sangat berbeda dengan makhluk lainnya sehingga Allah memberikan amanat kepadanya, "dan kami tidak menciptkan jin dan manusia" (QS. Adz Dzariat : 21), di sisi lain manusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa (QS. 2 : 106). Karena itu kajian psikologi manusia dalam al-Qur'an cukup menarik.


II. Posisi Ilmu Jiwa Dalam Al-Qur'an

Nyaris tidak ada umat Islam yang tidak mengetahui bahwa al-Qur'an adalah sumber pedomannya. Sebagai satu-satunya pedoman, al-Qur'an akan dijadikan center reference bagi umatnya dalam mengembangkan pola kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan tanggungjawabnya, hakekat fungsi manusia dalam kehidupan meliputi dua bagian: Pertama, sebagai hamba Allah (QS. 51 : 56), dan kedua, sebagai khalifatullah (QS. 2 : 30). Sebagai hamba Allah, manusia diwajibkan beribadah kepada penciptanya, dengan mengembangkan sikap selalu tunduk dan taat kepada-Nya. Sedangkan manusia sebagai khalifatullah, adalah wakil atau pengganti di bumi dengan tugas menjalankan mandat yang diberikan Allah kepadanya, membangun dunia ini dengan sebaik-baiknya (QS. 2 : 30). Dia akan dimintai pertanggungjawabannya atas tugasnya dalam menjalankan mandat itu (QS. 10 : 14) .
Kedua hakekat fungsi manusia di atas, menjadi tanggung jawab diri manusia dalam hubungannya dengan Allah. Sebab Allah selaku pencipta telah menawarkan amanat kepada manusia, lalu dengan kebodohannya, manusia menerimanya. Firman Allah SWT. "Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan rnengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh ". (Al-Ahzab : 72).
Dalam prosesnya untuk menjalankan dua amanat di atas, manusia dibekali dengan berbagai potensi. Dengan potensi itu, manusia mampu mengembangkan sikap dan tingkal laku --bagian gejala jiwa--. Kendati manusia adalah makhluk yang paling sempurna, tetapi disisi lain dia memiliki banyak kelemahan. Dalam kondisi inilah meunculnya Al-Qur'an sebagai sumber perilaku kehidupan manusia dalam menjalankan tugasnya.


III. Teori A1-Qur'an tenang Aql, Qolb, Nafs, Fitrah, dan Ruh

A. Pengertian
1) Aql
Dari beberapa ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan ini, tidak didapatkan kata aql tersebut. Yang ada adalah bentuk kata kerja masa kini dan masa lampau . Dari segi bahasa, kata tersebut umunya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Qur'an menggunakannya bagi sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa. 
Kendati al-Qur'an tidak menjelaskannya secara eksplisit, namun dari konteks ayat-ayat al-Qur'an yang menggunakan akar kata aql dapat difahami bahwa aql dapat diartikan sebagai berikut:
(1) Kekuatan untuk memahami sesuatu. Firman Allah SWT:
"Demikian itulah perumpamaan yang kami berikan kepada manusia tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang 'alim (berpengetahuan) (Al-Angkabut : 143) "
Kekuatan ini digunakan manusia untuk memahami sesuatu dengan kata berbeda-beda. Ada yang digunakan untuk memahami bukti-bukti ke-Esa-an Allah dengan kata orang-orang yang mempergunakan akal (Ar-Rum : 24; Al-Maidah : 56; Asy-Syur'ara' : 28), ada juga yang menggunakan kata ulil albab (Ali-Imran : 190-191) dengan makna sama, kendati pengertiannya lebih tajam dari sekedar memiliki pengetahuan . Keanekaragaman aql dalam menarik makna dan menyimpulkan bisa juga dikembangkan dari perwujudan nazhara, taffakur, taddabur.
(2) Dorongan moral. Firman Allah SWT:

"Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji baik yang nampak atau yang tersembzrnyi. Dan jangan pula kamu membunuh jiwa yang diharamkan Alah dengan sebab yang benar. Demikian itu diwasiatkan kepadamu semoga kamu memiliki dorongan moral untuk meninggalkannya" (Al-An'am : 151).
(3) Kemampuan mengambil pelajaran.
Kemampuan ini meliputi memahami, menganalisis, dan menyimpulkan yang disertai dengan kematangan berfikir. Karena itu kata yang bisa digunakan untuk menunjukkannya adalah rusyd (QS. 11: 87).
Aql bukanlah rasio dan rasio bukanlah aql. Akan tetapi aql merupakan jalinan antara rasa dan rasio yang mampu menerima segala sesuatu yang didapat oleh indera dan sesuatu di luar pengalaman empiris. Dalam aql terdapat rasa yang menimbulkan rasa percaya. Tidak setiap yang masuk akal berarti rasional, karena dalam rasio tidak terdapat unsur rasa. Rasio hanya dapat menangkap sesuatu yang inderawi sedangkan aql lebih dari itu .
2). Qalb
Qalb diambil dari akar kata dengan makna membalik, karena memang tidak konsisten. Sekali menerima sekali menolak, sekali tenang sekali gelisah, sekali senang sekali susah, kadang-kadang beriman, kadang-kadang berpaling. Ini karena dipengaruhi oleh dua jenis mahluk ghaib yang saling bertentangan. Satu diantaranya yang selalu mendorong kebaikan (malaikat) (QS. 16 : 2; 8 : 12) dan yang lainnya syaitan (yang senantiasa mendorong kepada kejahatan) (QS. 4 : 116) .
Qalb mempunyai beberapa nama, (1) damir yang bertarti suara hati/angan-angan, karena muara rahasia; (2) Fuad berarti menyala, karena tumpuan tanggung jawab manusia; (3) Kabid karena berbentuk benda; (4) Luthfu berarti lembut, karena sumber perasaan halus; dan (5) Sirr berarti sembunyi karena berada pada tempat tersembunyi. Karena itu qalb merupakan wadah dari pengajaran (QS. 50 : 37), kasih sayang (QS. 57 : 27) dan keimanan (QS. 49 : 7). Dari sisi ini, qalb bisa disebut tempat menampung hal-hal yang disadari pemiliknya.
Karena qalb merupakan wadah yang berada dalam kotak nafs, maka qalb bisa diisi (QS. 49 : 24) dan bisa di ambil isinya (QS. 15 : 47), dapat diperbesar dengan amal kebajikan dan jiwa (QS. 49 :3; 94 : 1) dan dapat diperkecil (QS. 6 : 125).
Dalam beberapa ayat kata qalb difahami dalam arti alat (QS. 7 : 179). Qalb sebagai alat dilukiskan pula dengan kata fuad (QS. 16 : 78) , karena itu qalb berperan sebagai sentral potensi kebaikan dan kejahatan manusia. Inilah yang menyebabkan qalb bertanggung jawab kepada Allah atas perbuatannya (QS. 17 : 36) .
3). Nafs
Kata nafs dengan segala bentukuya terulang l33 kali di dalam al-Qur'an. 72 di antaranya disebut dalam bentuk nafs yang berdiri sendiri, sisanya adalah kata jadian . Secara bahasa kata nafs berasal dari kata nafasa berarti bernafas (yang keluar dari rongga). Belakangan ini terjadi dinamisasi pengertian. Sehingga kata nafs ditemukan arti yang bervariasi seperti menghilangkan, melahirkan, bernafas, jiwa, ruh, darah, dan sebagainya. Namun keberanekaragaman arti itu tidak menghilangkan arti asalnya. Kata nafs juga diartikan sebagai totalitas manusia (QS. 13 : 11). Demikian juga kata nafs digunakan untuk menunjuk kepada diri Tuhan seperti dalam firman Allah SWT.
Secara umum , nafs dalam konteks pembicaraan manusia menunjuk kepada sisi potensi baik dan buruknya. Dalam pandangan al-Qur'an nafs ini diciptakan Allah dalam keadaan sempurna, berfungsi untuk menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan. Kendati demikian, diperoleh isyarat bahwa pada hakekatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya. Hanya saja kekuatan tarikan keburukan lebih kuat dari kekuatan tarikan kebaikan. Di sinilah pentingnya manusia memelihara kesucian diri dengan mempotensikan nadhara dan sama' pada posisi haknya .
Berbeda dengan pandangan orang sufi bahwa nafs dalam persepsi mereka sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk ansih. Karena kata nafs itu dihimitkan dengan kata hawa (QS. 12 : 53). Sementara asal makna kata ini adalah angin atau hawa yang agak panas .
Nafs juga merupakan wadah (QS. 13 : 11), tempat menampung kemauan/gagasan. Suatu kaum tidak dapat berubah sebelum mereka mengubah lebih dulu apa yang ada dalam nafs-nya. Dalam wadah ini terdapat qalb. Dari sisi ini nafs merupakan organ rohani yang besar pengaruhnya dalam mendorong anggota jasmani untuk berbuat dan bertindak . Sehingga muncul aktivitas manusia seperti emosi (takut, khusu', benci, menyesal, dan sebagainya), serakah (QS. 3 : 14), tergesa-gesa (lapar, seks, perlindungan, bebas, dan sebagainya) . 
4) Fitrah
Secara lughawi, kata fitrah terambil dari kata al fathr, berarti belahan. Ulama sepakat fitrah diartikan sebagai asal kejadian atau kondisi awal. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam tnenetapkan kondisi awal atau asal kejadian tersebut. Hal ini disebabkan kata fitrah yang berkenaan dengan kejadian manusia, dalam al-Qur'an hanya disebut satu kali saja yakni dalam surat ar-Rum ayat 30 . Sementara kata yang maknanya berkenaan dengan kejadian semula atau bawaan semula diluar manusia cukup banyak.
Fitrah manusia, tidak terbatas pada fitrah agama saja. Karena redaksi ayat (surat ar-Rum : 30) itu bukan merupakan pembatasan, di samping masih banyak ayat-ayat yang lain sekalipun tidak menggunakan kata fitrah. Karena itu agaknya tepat kesimpulan Muhammad bin Asyur .
"Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya."
Pernyataan ini diperkuat dengan munculnya beberapa interpretasi tetang fitrah, diantaranya:
a) Fitrah berati suci (pendapat al-Auzaiy) 
b) Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah
c) Manusia lahir dengan dengan membawa konsep tauhid, atau paling tidak berkecenderungan untuk meng-Esa-kan Tuhannyas .
d) Fitrah bcrarti murni/ikhlas
e) Manusia Iahir dengan berbagai sifat, satu di antaranya adalah kemurnian (keikhlasan) dalam menjalankan suatu aktivitas . 
t) Fitrah berarti kecenderungan menerima kebenaran
g) Secara fitri manusia berusahan mencari serta menerima kebenaran walaupun hanya bersemayam dalam hati kecilnya .
h) Fitrah berati alat untuk mengabdi dan ma'rifatullah
i) Penafsiran ini dilakukan oleh para filosuf dan fuqaha Fitrah berarti potensi mengenai kebahagiaan dan kesehatan .
j) Fitrah berarti tabiat alami (human natur) yang dimiliki manusia.
k) Fitrah berarti gharizah (insting) 

5) Ruh
Pemaknaan terhadap ruh cukup menyulitkan, apalagi berbicara substansinya. Allah SWT mengingatkan kita dengan firman-Nya "Dan mereka bertanya kemadamu tentang ruh. Katakanlah ruh adalah urusan tuhanku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit".
Di samping itu kata ruh dalam al-Qur'an terulang sebanyak 24 kali, dengan berbagai konteks dan makna, juga tidak semuanya berkaitan dengan manusia. Kendati berkaitan dengan manusia, konteksnya bermacam-macam . Ada yang dianugerahkan Allah kepada manusia pilihan-Nya (QS. 40 : 15) yang difahami sebagian pakar sebagai wahyu yang dibawa malaikat Jibril, ada yang dianugerahkannya kepada orang mukmin (QS. 58 : 22) difahami sebagai dukungan dan pengaruh hati atau kekuatan batin . Adakalanya juga ruh dianugerahkan Allah SWT sebagai pemberian hidup kepada manusia (QS. 15 : 29; 32 : 9). Semua pengertian tersebut tidak satu pun memunculkan badan atau badan ruh. Walau bagaimanapun sulitnya untuk memberikan makna terhadap ruh, tetapi ruh itu sendiri mempunyai sifat yang cenderung sebagai substansi dari badan manusia, bukan materi dan ia adalah hal yang halus dan ghaib. Di samping sebagai substansi, ruh pun sebagai sumber penghidup aktivitas manusia. Perbuatan baik ataupun buruk yang ada pada qalb manusia, atas dorongan nafs kemudian dihidupkan oleh ruh, maka akan muncul pada diri manusia. Ruh dapat memancar dan memberi bekas pada qalb, aql, fitrah, dan nafs.
B. Persamaan dan Perbedaan Aql, qalb, nafs, fitrah, dan ruh
Sudah kita ketahui bahwa keempat unsur manusia ini adalah bersifat ruhaniah. Untuk mencari maknanya saja, para pakar sampai saat ini masih berbeda pendapat apalagi hakekatnya. Karena itu untuk mencari persamaan dan perbedaan antara kelima potensi rohani manusia itu cukup sulit juga. Tetapi kendati demikian penulis akan mencoba mengangkatnya.
Persamaan, Merupakan potensi rohani manusia yang bersifat imaterial, suci, mampu mengenal dan memahami sesuatu, diciptakan tuhan yang bersifat kekal, dan merupakan inti/substansi kemanusiaan.
Sedangkan perbedaannya, Fitrah merupakan faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang terbawa sejak lahir dan terpusat pada potensi dasar untuk berkembang. Ruh adalah substansi kehidupan manusia yang memancar dan memberi bekas pada aql, qalb. fitrah, dan nafs. Qalb adalah sentral perasaan baik/buruk yang membimbing ke arah kebaikan. Aql adalah daya nalar yang mengolah dorongan rohani sehingga akan muncul keputusan. Dan Nafs adalalah bagian rohani yang banyak memberikan dorongan untuk mengeluarkan potensi baik dan buruk dan sentralnya (qalb) .

C. Hubungan Fungsional Antara Fitrah, Qalb, Nafs, Aql, dan Ruh
Fitrah manusia yang berupa potensi dasar baik/buruk itu, sentralnya ada pada qalb. Ia merupakan pusat penalaran, pusat pemikiran, dan pusat kehendak yang berfungsi untuk memutuskan tahap akhir (22 : 46) dan memahami tahap akhir (7 : 179). Dia sebagai sentral untuk mengenal kebenaran ketika penginderaan dan akal sudah tidak mampu menjangkau Iagi .
Untuk mengaktualisasikan kebaikan/keburukan (fitrah) yang sentralnya pada qalb diperlukan pendorong. Di sinilah fungsinya nafs. Dorongan ini terdiri dari (1) dorongan agresif (untuk mengambil barang-barang yang berguna dan sesuai dengan badan). Jika ini yang dominan, maka yang muncul syahwat. (2) Dorongan erotis ( dorongan untuk menolak hal-hal yang berbahaya dan membinasakan). Jika ini yang dominan, maka yang muncul amarah (ghadhab) . Kebaikan/keburukan (fitrah) yang muncul dari qalb atas dorongan nafs, ini dicerna dengan bantuan pikiran (rasio) dan rasa yakni (aql). Sebab setelah seseorang melihat sesuatu, maka la akan mendapat gambaran dalam jiwanya dalam bentuk khayalan atau fantasi. Gambaran ini dengan adanya pasukan pelindung dalam rasio, akan tetap teguh. Kemudian ia berfikir tentang apa-apa yang tergambar itu dan tersusunlah gambaran baru atas kombinasi dari gambaran yang muncul awal dengan dengan gambaran yang sudah ada (dalam qalb). Akhirnya terkumpullah sejumlah pengertian-pengertain, perasaan-perasaan. Pengertian dan perasaan itu membawa ia memutuskan (sementara). Kemudian dikompirmasikan kepada qalb dan qalb memerintahkan kepada pasukan jasmani (tangan, kaki, mata, dan sebagainya), tetapi proses itu semua hanya akan berjalan dan berkembang bila sumber kehidupan (substansi hidup [ruh]) itu berfungsi. Dan ruh inilah yang menjadi dasar atas kehidupan manusia. Pengaruhnya terhadap tubuh manusia bagaikan lilin dalam kamar, cahayanya memancarkan sinar kehidupan bagi tubuh. Jika padam semua gelap dan jalan untuk mengembangkan kehidupan tertutup .

D. Faktor-Faktor Dominan Yang Mempengaruhi Perkembangan Aql, Qalb, Fitrah, Nafs, dan Ruh.
Potensi rohani ini, semuanya berada dalam metapisik yang sumbernya sama dan terintegrasi secara kilat. Karena bersifat metafisik/ruhaniah, maka dalam proses perkembangannya, secara dominan akan didorong oleh faktor-faktor ruhaniah juga, kendati faktor fisik tidak bisa dilepaskan.
Ada lima buah rumusan kesehatan mental (ruhani) menurut Zakiah Daradjat , kelimanya itu, yaitu:
1. Kesehatan mental adalah terbinanya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psicose).
2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia hidup.
3. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sunguh-sungguh antara fimgsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan bathin (konflik).
4. Kesehatan mental adalah pengetahuan dalam perbuatan mental untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.
5. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan di akherat.
Dalam al-Qur'an untuk mengukur kesehatan mental (rohani) yang kemudian akan berpengaruh pada perkembangannya, dilihat dari dua faktor , yaitu:

Faktor internal
1. Terhindar sifat tercela
Sifat-sifat tercela ini secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan penyakit ruhani/mental. Ketika sifat-sifat ini dihindarkan, maka akan berpengaruh tinggi pada perkembangan potensi ruhani manusia . Sifat sifat tercela yang dimaksud misalnya bakhil. Orang bakhil tidak puas-puasnya untuk mengumpulkan harta sekalipun hartanya telah cukup banyak. Hal ini akan menggagu, akhirnya menghambat pada perkembangan kesucian hati (Qs. 47 : 38). Demikian juga aniaya, ujub, dengki, dan sebagainya.
2. Potensi pengembangan diri
Dengan sabar orang akan merasa jembar. dengan demikian potensi rohaninya tidak terkekang (QS. 2 : 153), demikian juga mengerjakan amal saleh, mengembangkan ilmu pengetahuan, tawakkal, istiqamah, menghindarkan fitnah, fanatik, dan sebagainya  
3. Pembiasaan pelaksanaan rukun Iman dan Islam
Orang yang iman disebut mukmin (QS. 23 : 1-4), orang yang beragama islam disebut muslim (QS. 41 : 33), dan orang yang berbuat amal shaleh disebut muhsin. 

Faktor Ekternal
l. Proses penyesuaian diri
Dalam ajaran Islam terdapat berbagai jenis silaturahmi dengan segala hak dan kewajiban masing-masing dan petunjuk mengenai cara melestarikan silaturahmi tersebut. Misalnya anak dengan orang tuanya, orang tuanya dengan anak, istri dengan suami, dan sebagainya. Sebagai ilustrasi silaturahmi dengan orang tua (QS. 17 : 23):
"Dan tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat kebajikan kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antaranya atau kedua-duanya telah sampai berusia lanjut dalam pemeliharraanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya "cis" dan jcrnganlah karnu rnembentak rnereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia."
2. Faktor makanan
• Dari sisi kuantitatif (Gizi)
 Makanan yang mempunyai kadar gizi tinggi akan menambah kesenangan hati (QS. 19 : 26), hati tentram (QS. 5 : 113).
• Dari sisi kualitatif (halal/haram)
 Makanan haram kemudian masuk ke dalam tubuh manusia, maka ia berdirinya kemasukan syaetan. (QS. 2 : 275), suka mendengar berita bohong (QS. 5 : 42).

E. Kriteria Amal dan Tindakan dalam Agama
Klasifikasi manusia berdasarkan akidahnya, terbagi menjadi tiga typologi, yaitu orang yang beriman, orang kafir dan orang yang munafiq. Masing-masing mempunyai sifat utama umum yang membedakannya. Hal ini akan menunjukkan kriteria amal dan tindakan dalam agama . 
Ketiga tipologi itu, bagi orang yang beriman kriteria amal dan tindakannya :
a) Yang berkenaan dengan aqidah; Mengimani rukun iman dan rukun Islam, percaya adanya yang ghaib.
b) Berkenaan dengan ibadah: menyembah Allah, melaksanakan kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, ijtihad, takwa kepada Allah.
c) Berkenaan dengan hubungan sosial: mempergauli orang lain dengan baik, dermawan, membuat kebajikan.
d) Berkenaan dengan hubungan keluarga: berbuat baik kepada orang tua dan kerabat, pergaulan yang baik anatara suami dan istri.
e) Berkenaan dengan moral: sabar, lapang dada, adil, melaksanakan amanah.
f) Berkenaan dengan emosional dan seksual: cinta kepada Allah, takut akan azab Allah, tidak putus asa, tidak dengki.
g) Berkenaan dengan intelektual: selalu menuntut ilmu, memikirkan alam semesta dan ciptaannya, tidak taklid tanpa ilmu.
h) Berkenaan dengan kehidupan praktis dan profesional: ikhlas dalam bekerja berusaha dengan giat untuk memperoleh rizki.
i) Berkenaan dengan pisik: kuat, sehat, bersih, suci.

F. Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Manusia 
Faktor ekternal:
1. Malaikat
Dalam padangan al-Qur'an, malaikat tetap mematuhi perintah Allah dan tidak pernah membantah perintah-Nya (QS. 2 : 34). Mereka senantiasa mengawasi manusia dan memeliharanya (QS. 82 : 10), menyampaikan wahyu ajaran yang benar (QS. 16 :2).
2. Syaitan
Kecenderungan manusia untuk melampiaskan hawa nafsu, datang dari dorongan syaitan. Makhluk ini selalu mendekati manusia untuk memberi petunjuk pada jalan yang sesat (QS. 2 : 268). Jika manusia lolos dari ujian syetan, maka tindakan manusia akan terlepas dari kejahatan, yang timbul adalah nafsu mutmainnah, lawwamah. Sebaliknya kejahatan (hasad, ghayah, amarah) akan muncul pada tindakan manusia jika dia lulus dari ujian syetan.
Faktor internal
1. Dorongan pisiologis
Kondisi pisik yang lemah akan mempengaruhi tindakan manusia. Contoh orang buta cenderung untuk meraba dengan sulit ada pembeda. (QS. 2 : 184 -185)
2. Kondisi psikis
Mentalnya yang sehat dan baik perkembangannya, akan memperkuat dalam memelihara dan mengembangkan kehormatan (QS. 21 : 91).
G. Tindakan yang Islami
Tingkah laku/ tindakan manusia dibatasi oleh hukum tertentu. Bagi orang yang tidak beragama, tindakan orang lain menjadi menjadi batasan bagi tindakan dirinya. Sedangkan orang yang beragama di samping tindakannya dibatasi oleh tindakan orang lain juga dibatasi oleh agama yang dianutnya. Karena sumber agama Islam adalah al¬-Qur'an dan sunnah, maka tindakan orang Islam dibatasi al-Qur'an dan sunnah . Tindakan itu muncul, karena dorongan baik fisiologis maupun psikis . Dorongan fisiologis berhubungan sengan kebutuhan-kebutuhan tubuh). Dorongan ini mengarahkan tingkalaku individu pada tujuan-tujuan yang bisa memenuhi kebutuhan fisiologis, seperti: 
l. Dorongan untuk menjaga diri
Dorongan fisiologis terpenting untuk menjaga diri adalah dorongan rasa lapar, haus, capai, sakit, dan sebagainya. Dalam konteks melakukannya, maka yang menjadi batasan adalah al-Qur'an dan sunnah. Misalnya makan/minum harus dilakukan atas nama Allah, menahan rasa capai dan sakit harus sabar dan ridha.
2). Dorongan mempertahankan kelestarian hidup
Dorongan untuk menikah, kebapaan, keibuan, kekeluargaan. Bagi orang Islam, menikah dilakukan dengan cara yang sah (QS. 28 : 27), sikap seorang babak dan ibu kepada anak dan keluarganya, dalam mendidiknya harus ikhlas dan menjunjung moralitas yang tinggi (QS. 2 : 233), sehingga tidak mencelakakan (QS. 5 : 32).
Sedangkan dorongan psikis, ini diperoleh melalui belajar selama proses sosialisasi yang dilakukan seseorang. Yang termasuk dorongan ini:
1). Dorongan rasa memiliki
Secara pisik manusia memiliki dorongan untuk memiliki terhadap sesuatu, seperti harta benda, kepercayaan, harga diri, dan sebagainya. Dorongan rasa memiliki ini, ketika sudah terpenuhi dikembangkan dengan rasa tawadhu', sopan ( QS. 24 : 60).


2) Dorongan berkompetisi
Dorongan pisik ini untuk memotifasi berpretasi. Kompetisi yang diajarkan al-¬Qur'an diantaranya adalah fastabikul khairat, penuh ketawadzuan, tidak dengki (QS. 17 : 37).

IV. Kesimpulan dan Implikasi

Manusia teridiri dari dua dimendi , yakni dimensi ragawi/jasmani dan dimensi rohani. Aspek rohani adalah potensi dasar kehidupan manusia yang sangat halus dan bersifat ghaib, sedangkan aspek ragawi adalah merupakan tempat bersemayamnya aspek potensi, karena itu bersifat material. Keduanya berhubungan secara integral. Aspek ragawi bisa bergerak/berkembang bila diisi aspek rohani. Bagi aspek rohani, ia akan muncul sebagai potensi dasar kehidupan bagi manusia apabila telah bergabung dengan aspek ragawi. Ketika la belum bergabung dengan aspek ragawi, ia belum menjadi potensi dasar manusia. Karena aspek rohani itu adalah potensi dasar, maka tanpa bergabung dengan aspek ragawi pun bisa bergerak (tentu saja sebelum bergabung dengan aspek ragawi manusia, bergeraknya aspek rohani belum tidak berwujud materi) 
Kedua unsur manusia itu, merupakan sumber inspirasi bagi muncunya dua alternatif perbuatan atau tingkahlaku (perbuatan manusia) antara yang baik dan yang buruk. menjadi potensi dasar manusia.), setelah mati, aspek rohani manusia kembali kepada yang memilikinya (Allah).
Dalam mewujudkan perbuatannya (yang baik/yang buruk), setiap manusia perilakunya berbeda-beda (inilah yang disebut gejala psikologi) sesuai besarnya wadah (aspek ragawi) demikian juga banyak sedikitnya aspek yang diisikan (rohani). Kendati demikian, la masih menerima doronga-dorongan dari luar untuk memperbesar dan memperlebar perkembangannya. Karena itu ada dua faktor yang akan berpengaruh pada perkembangan aspek rohani (potensi dasar kehidupan manusia). Kedua faktor tersebut yaitu:

1. Faktor Internal:
a. Faktor hereditas (pembawaan). Terdiri dari faktor kuantitatif dan faktor kualitatif. 
b. Pembiasaan
c. Kondisi badan 

2. Fakton eksternal:
a. Dorongan syaetan dan malaikat 
b. Pengaruh lingkungan:
• Sosial
• Pendidikan. Implikasi
Aspek psikologi manusia dipengaruhi oleh dua faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal diantaranya adalah pendidikan. Ketika pendidikan berpengaruh pada aspek psikologi manusia maka terdapat implikasi:
1. Semakin banyak pendidikan bagi seseorang, akan semakin berkembanglah aspek psikologinya, dan akan semakin pinterlah dia.
2. Semakin pandai, orang semakin tinggi akan kebutuhan pendidikan dan semakin abstraklah metode pengembangannya.

DINAMIKA PSIKOLOGI AGAMA

Oleh: Asep Abdullah, M.A.

Pengantar

 Psikologi agama merupakan satu bagian kajian psikologi secara menyeluruh, yang membahas masalah-masalah kejiwaan yang berkaitan dengan keyakinan seseorang. Agama yang sering dijadikan alternatif pemecahan masalah bagi kehidupan, menjadi sangat penting bagi manusia. Sebab dengan agama manusia dapat menyelesaikan gejolak hatinya yang berkaitan dnegan jiwa dan kehidupan praktis mereka. Kekayaan, jabatan, kekuasaan dan segala bentuk kenikmatan duniawi, tidak menjadi jaminan bagi manusia untuk dapat menyelesaikan masalah dalam hidupnya.
 Apabila seseorang tergolong pada manusia yang baik, maka penyelesaian-nya adalah dengan agama, tetapi jika sebaliknya, maka pelariannya adalah pada hal-hal yang bersifat negatif. Untuk itu agama bagi kebanyakan orang adalah alternatif yang layak untuk dijadikan sebagai pandangan hidup (way of life). Dengan demikian agama sangat berkaitan dengan jiwa seseorang. Untuk itu kajian psikologi yang mempelajari gejala tingkah laku seseorang akan mempelajari pula tentang gejala keberagamaannya. Karena beragama tidak dapat dipisahkan dari hati atau keadaan jiwa seseorang, maka antara agama dan jiwanya merupakan dua hal yang berbeda dalam satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
 Dari asumsi di atas, maka kajian psikologi agama merupakan cakupan dari dua bagaian yang berbeda, hal ini berlainan dengan cabang-cabang psikologi lainnya. Dimana jika psikologi secara umum mengkaji tentang gejala psikis dan kaitannya dengan tingkahlaku seseorang serta bersifat empiris, maka agama lebih dari bersifat metafisis. Jalaludin dalam bukunya Pengantar Ilmu Jiwa Agama, mengatakan bahwa ilmu niwa agama merangkum dua bidang kajian yang berbeda, yaitu ilmu jiwa dan agama. Meskipun kedua bidang tersebut sama-sama mencakup masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan batin seseorang, akan tetapi dari sisi tertentu terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Dimana masalah kejiwaan manusia dikajai berdasarkan kajian empiris yang bersifat profan, sedangkan agama sebaliknya mengandung kepercayaan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang sulit untuk dikaji secara empiris.  
 Dari perbedaan tersebut di atas, maka terjadi pertentangan antara para ilmuan psikologi dan para agamawan. Hal itu terjadi karena kedua bidang tersebut memiliki metodologi tersendiri dalam menyelesaikan masalahnya. Dimana para ahli psikologi menolak, karena agama tidak dapat dikaji secara empiris dal ilmiah, dengan alasan agama mengandung nuansa simbolik yang bersifat abstrak. Demikian pula kaum agamawan, mereka tidak sepakat apabila agama dikaji secara empiris psikologi, karena mereka khawatir agama akan kehilangan kesakralannya dan kajian psikologi mempengaruhi norma-norma agama yang telah diyakini oleh seseorang.
 Namun demikian pertentangan antara para ahli psikologi dan para agamawan ahirnya terselesaikan pada sekitar akhir abad ke 19, yakni ketika munculnya pendapat William James yang memberikan kuliah di bebrapa universitas di Skotlandia. Tulisan James yang berjudul Varieties of Religious Eksperience, telah memberikan kesan positif atas berkembangnya psikologi agama. James beranggapan bahwa psikologi merupakan salah satu metoda untuk mengembangkan pemahaman keagamaan. Untuk itu James menegaskan bahwa fungsi yang paling esensial bagi para ahli psikologi adlah mengkaji dan mengamati keagamaan tanpa melibatkan dirinya dalam penilaian terhadap kebenaran ajaran-ajaran agama atau memuji nilai-nilai agama.
 Berbeda dengan James, Zakiah Darajat berpendapat bahwa ilmu jiwa agama adalah sebuah ilmu yang mengkaji, meneliti, dan menelaah tentang kehidupan beragama seseorang dan mempelajarinya seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Di samping itu ilmu jiwa agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agam pada seseorang, dan faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.

Pengertian Psikologi Agama
 Melihat kepada rumusan yang diungkapkan oleh Zakiah Darajat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa psikologi agama merupakan salah satu kajian empiris umat beragama. Artinya, dasar-dasar keyakinan dan pemahaman seseorang dapat diteliti secara empiris melalui tingkah laku seseorang dari pemahamannya terhadap agama yang diyakininya. Kalaupun agama secara khusus tidak dapat dikaji secara empiris, akan tetapi pemahaman keagamaan seseorang yang berwujud dalam bentuk tingkah laku dapat diteliti. Yakni sejauh mana kapasitas seseorang dalam menyakini suatu agama. Sebab adakalanya seseorang yang mengaku dirinya beriman, namun dalam tingkahlakunya tidak mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang dianggap tidak beriman (dalam artian normatif) namun segala tingkah lakunya mencerminkan suatu nilai keagamaan tertentu. Untuk itu dengan kajian empiris yang dilakukan oleh psikologi agama akan dapat diketahui kadar kualitas keimanan seseorang.
 Sebab tanpa disadari oleh berbagai kalangan bahwa munculnya kesadaran beragama, pengalaman keagamaan dan gejolak hati seseorang sangat berkaitan dengan psikologi. Sehingga tidak memiliki dasar yang kuat jika seseorang menolak adanya kajian empiris yang dilakukan ahli psikologi agama. Karena penelitian yang dilakukan ahli psikologi agama hanya sebatas pada pengalaman dan kesadaran seseorang dalam memahami keyakinan agamanya, dan tidak mempersoalkan benar tidaknya suatu agama atau norma-norma terbaik dari agama tertentu.
 Di atas telah dijelaskan bahwa psikologi agama merupakan dua bidang kajian yang sama sekali berbeda. Kalaupun keduanya sulit untuk disatukan, namun kenyataannya agama telah banyak mempengaruhi tingkah laku para pemeluknya. Begitu pula sebaliknya, kejiwaan juga mempengaruhi sebagian keyakinan seseorang dalam beragama. Zakiah Darajat mengemukakan, untuk dapat mengetahui pengertian psikologi agama secara jelas, maka kita harus terlebih dahulu mengetahui masing-masing definisi dari keduanya, yakni apa yang dimaksud dengan agama dan apa pula yang dimaksud dengan psikologi. Sehingga ahirnya kita dapat menemukan perbedaan dan persamaan serta fungsi dari keduanya.  
 Apabila dilihat dari asal katanya, psikologi berasal dari kata psyche yang berarti jiwa, sedangkan logos yang berarti ilmu. Dengan demikian, psikologi secara umum memelikiarti ilmu tentang jiwa. Namun karena jiwa itu abstrak dan tidak bisa dikaji secara empiris, maka kajiannya bergeser pada gejala-gejala jiwa atau tingkahlaku manusia. Oleh karena itu karena yang dikaji adalah gejala jiwa atau tingkah laku, maka terjadilah beberapa pemahaman yang berbeda mengenai definisi tingkah laku itu sendiri. 
 Dalam pelaksanaanya, tingkah laku berkaitan erat dengan jiwa dan jasad manusia, sehingga para ahli psikologi berbeda pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan tingkah laku itu. Menurut ahli psikoanalisa, tingkah laku itu berkaitan erat dengan aspek-aspek sadar dan ketidaksadaran manusia, karena kedua aspek inilah banyak yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Sedangkan menurut pandangan behavioristik, tingkah laku manusia itu didasarkan pada aspek realitas, yaitu aspek phisik manusia yang dapat diamati pada tingkah lakunya. Untuk itu mempelajari psikologi merupakan suatu usaha untuk mengenal manusia lebih dekat dan memahaminya, serta menggambar kepribadian manusia dalam bentuk tingkah lakunya dan mempelajari pula aspek-aspek yang berkaitan dengan dirinya sebagai manusia. 
 Berdasarkan pendapat di atas, maka penelitian psikologi merujuk pada suatu sistem dari berbagai metode penelitian yanh diarahkan pada pemahaman terhadap apa yang telah diperbuat, yang telah dipikirkan dan dirasakan oleh manusia. Sebab pijakan kepribadian manusia berdasarkan pada apa yang telah dipikirkan, dirasakan dan yang telah diperbuat olehnya. Sehingga Robert H. Thouless mengatakan, bahwa seorang peneliti psikologi tertentu dapat mempergunakan salah satu bentuk behaviorisme teoritik di mana ia menganggap bahwa perolehan mengenai tingkah laku manusia sebagai proses mekanik yang ditentuka oleh suatu prinsip yang menyatakan bahwa tingkah lakju terpuji cenderung untuk diulangi. 
 Dari beberapa teori penelitian psikologi tersebut di atas, barangkali akan lebih mudah bila seorang ahli psikologi menyepakati adanya salah satu teori yang digunakan. Tetapi kesepakatan tersebut bukan berarti memberikan harga mati atau menganggap bahwa teori tersebut merupakan sistem dogmatik alternatif, yang memberikan penilaian benar atau salah terhadap salah satu mtode yang ada. Namun demikian barangkali dengan menggunakan berbagai teori tersebut akan ditemukan pemahaman secara psikologik terhadap tingkahlaku keagamaan tertentu.
 Agama bagi sebagaian orang merupakan bentuk ungkapan moral yang paling tinggi, yang selalu menjadi kebutuhan ideal bagi manusia. Karena agama merupakan pandangan hidup yang sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari dirinya. Agama juga memberikan semesta simbolik bagi manusia untuk mengetahui makna dibalik kehidupannya, serta memberikan penjelasan secara komprehensif mengenai berbagai pertanyaan yang tak terjawab, karena agama merupakan suatu kepercayaan dalam bentuk spiritual. Roger M. Keesing dalam bukunya Antropologi Budaya menguraikan tiga fungsi agama, yaitu agama memberikan keterangan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang eksistensial, agama memberikan pengesahan untuk menerima adanya kekuatan di dalam alam semesta yang mengendalikan dan menopang tata susila serta tata sosial masyarakat, serta agama menambah kemampuan manusia untuk menghadapi kelemahan hidupnya dan memberikan dukungan psikologis bagi dirinya. 
 Dengan demikian agama bagi manusia merupakan kekuatan yang dapat mengantarkan manusia itu sendiri, supaya ia dapat mencapai kesempurnaan dan dapat memberikan penjelasan secara menyeluruh tentang realitas kematian, penderitaan, tragedi serta segala sesuatu yang berkaitan erat dengan makna hidupnya.
 Oleh karena itu eksistensi rasa agama bagi manusia pada hakikatnya adalah suatu pengalaman dari keyakinan yang difahaminya, sehingga agama dapat merefleksi pada diri pemeluknya yang berdimensi Ketuhanan, psikologis, dan sosiologis. Dimensi Ketuhanan tersebut merupakan sumber nilai kebenaran dan kebaikan, sedangkan dimensi psikologis adalah sisi lain dari keyakinan seseorang yang sangat individual, adapun dimensi sosiologis adalah bentuk pengalaman manusia dari suatu yang telah diyakininya guna membentuk sistem sosial lingkungan yang lebih bermoral.
 Kaitannya dengan rasa agama, Zakiah Darajat, dalam bukunya yang berjudul Kesehatan Menatal mengemukakan, bahwa rasa agama itu adalah sangat bersifat subjektif, itern dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dengan orang lain. 
 Namun demikian, pada hakikatnya apapun bentuk dan definisi agama yang diberikan para ahli tersebut, jika tidak mewakili dari apa yang dirasakannya, dipikirkannya, dan dilaksanakannya berdasarkan norma-norma yang berlaku, maka dengan sendirinya agama akan kehilangan maknanya. Sebagaimana menurut Frankl yang dikutip oleh E. Koswara, bahwa yang paling dicari dan diinginkan oleh manusia dalam hidupnya adalah makna, yakni makna dari segala yang dilaksanakan atau dijalaninya, termasuk dan yang terutama makna hidupnya itu sendiri. Dengan demikian keinginan kepada makna (the will to meaning) adalah penggerak utama dari kepribadian manusia dalam melakukan aktivitas prilaku hidupny, yang dalam hal ini termasuk prilaku ritual keagamaan, yang merupakan psikoterapi terhadap psiko-pata;ogis manusia dari kehampaan eksistensinya sebagai manusia.

Ruang Lingkup Psikologi Agama
 Pada dasarnya psikologi agama tidak membahas tentang iman dan kufur, surga dan neraka, serta hari kiamat dan sebagainya, juga tidak membahas mengenai definisi dan makna agama secara umu. Namun psikologi agama secara khusus mengkaji tentang proses kejiwaan seseorang terhadap tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk itu dalam psikologi agama dikenal adanya istilah kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Menurut Zakiah Darajat kesadaran agama itu adalah bagian atau hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi atau disebut juga dengan aspek mental dan aktivitas agama. Sedangkan yang dimaksud pengalaman agama adalah unsur perasaan dan kesadaran agama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakannya. 
 Dengan demikian psikologi agama tidak terlibat dalam memberikan penilaian benar atau salahnya suatu agama, yakni tidak mencampuri dan membahas keyakinan agama-agama tertentu. Untuk itu psikologi agama mengkaji dan meneliti proses keberagamaan seseorang, perasaan atau kesadaran beragamanya dalam pola tingkah laku kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat ditemukan sejauh mana pengaruh agama dan keyakinan tertentu pada dirinya. Dan yang terpenting adalah bagaimana kelakuan atau tindakan keagamaan yang telah diyakininya. Dengan kata lain bagaimana pengaruh keberagamaan seseorang terhadap proses dan kehidupan yang berkaitan dengan keadaan jiwanya, sehingga terlihat dalam sikap dan tingkah laku secara fisik dan sikap atau tingkah laku secara bathini yang mana dapat diketahui cara berpikir, merasa atau emosinya.

Penutup
 Psikologi agama pada dasarnya, secara komprehensip membahas dan mengkaji tentang fenomena-fenomena keadaran dan pengalaman psikologis atau tentang rasa keagamaan manusia, yang bertujuan dan berfungsi sebagai penyadaran psikopatalogis manusia dewasa ini. Yakni bagaimana agama dalam hal ini, memiliki peran dan fungsi untuk merehabilitasi, mengantisipasi, dan mengentaskan permasalahan-permasalahan kejiwaan manusia yang diakibatkan oleh pengaruh perkembangan sosio-kultur yang harmonis dengan sebuah pendekatan psikologis. 
Yaitu dengan membahas situasi dan kondisi tentang perubahan perkembangan penerimaan dan pengalaman agama pada setiap priode tertentu, yaitu pada masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa lansia (usia lanjut). Karena pada masa-masa tersebut perkembangan keagamaan masing-masing individu berbeda-beda, baik dari aspek kwantitas maupun dari aspek kualitas keberagamannya.


Asep Abdullah

adalah pengajar pada STAI Yapata Al-Jawami Bandung